Cak Lohay
Catatan Fajarullah*
Apa yang abadi dalam politik? Kepentingan; yang berdiri di antara keduanya? Harapan.
Secara awam, orang terdekat bisa tiba-tiba jadi sosok paling merendahkan kecuali kepentingan yang sama muncul di waktu tak terduga lalu semua kembali berubah: tak ada yang abadi dalam percaturan politik.
Petuah secemerlang sinar lampu Tugu Macan itu disampaikan Mang Juhai tepat saat pickup tua bersuara macam bebek mengeram yang membawa dia dan James Bond baru saja memasuki pintu tol. Meledaknya panen duku di Komering mendorong keduanya jadi pemborong dadakan dan ini adalah kali kedua mereka melakukannya.
"Sejak neman kena marah bini kulihat kau makin pintar saja bersilat lidah," sindir James seraya menaikan kaca mobil lalu meluruskan punggung dan memasang sabuk pengaman.
"Jangan menyindir," sergah Mang Juhai. "Walaupun kau lihai bermain kuntau, jangan dikira aku takut: ini soal politik."
"Aku tahu. Di dunia ini kau hanya takut pada isterimu, tidak yang lain."
Mereka lalu tertawa.
"Dalam politik," lanjut Mang Juhai, "setiap manuver yang timbul akan merangsang manuver serupa bahkan setiap satu langkah manuver akan lebih cepat menular untuk melahirkan sebuah manuver baru. Tapi di atas semua itu, waktu adalah harta paling berharga sebagaimana kesempatan juga adalah timing yang harus ditimbang masak-masak. Karena itu, jika idiom yang abadi dalam politik adalah kepentingan itu benar, kita memang harus berani memeriksa diri sendiri: sebesar apa keinginan kita dalam menjaga cinta atas negeri dan bangsa ini, juga di posisi mana."
"Kukira aku hanya akan memilih sebagai penonton."
"Tentu saja kau benar dengan pilihan itu, tapi jangan kau lupa: jika semua orang memilih patah arang macam kau, mungkin negeri ini sudah rimbun jadi belukar."
"Kenapa pula?"
"Ketika seseorang sudah memilih jalan politik, dia memang harus mau menjadi seperti McCarthy atau pelatih sepak bola Timnas U-23, Shin Tae Yong yang pintar memahami permainan tapi harus mengesampingkan untuk berpikir bahwa boleh jadi, lawan terberat tim binaannya adalah negaranya sendiri."
"Dia orang Mesuji?"
"McCarthy?"
"Ya."
"Bukan. Dia senator Partai Demokrat AS dari Minnesota yang pernah menantang calon presiden dari partai sendiri dan dia melakukannya sebagai bentuk protes terhadap apa yang disebutnya sebagai “perang tidak bermoral” yang dilancarkan pemerintahan Johnson di Vietnam kala itu. Dalam sebuah kampanye, dia berkata bahwa dari semua orang yang mencalonkan diri, dia mungkin yang paling tidak menginginkan kursi kepresidenan, tapi dia tetap harus mengujinya karena tidak ada orang lain yang akan mau melakukan itu."
"Dia dia memenang?"
"Kalah."
"Ai!"
"Tapi sejarah mencatat, saat mengumumkan pencalonan, McCarthy mengatakan bahwa, jika terpilih, dia akan menarik pasukan Amerika dari Vietnam dan mengupayakan negosiasi perdamaian dengan Vietnam Utara dan Vietnam Cong."
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" James Bond mengerutkan kening.
"Yang berdiri di antara politik dan kepentingan adalah harapan."
"Tak ada harapan. Kau justru membuatku pening palak."
"Kukira, itu karena kopimu habis."
"Kukira bukan karena itu."
"Oh, ya? Lalu karena apa?"
"Karena kau Caklohai: icak-icak lolo padahal lihai."
*Fajarullah adalah penulis yang kini aktif sebagai Ketua DPC PPP Kabupaten Mesuji.
Post a Comment