Musim Pencitraan
Catatan Fajarullah*
Apalah arti sebuah nama kata Shakespeare, namun puisi akrostik membantah pernyataan itu sebab sebuah nama, dalam jenis puisi ini, adalah kesatuan yang tiap barisnya akan tersusun berdasarkan awalan huruf secara vertikal. Kata "Fajar," misalnya, bisa menjadi satu puisi yang, saat kita mengamati awalan huruf setiap kalimatnya, akan diketahui kalau itu nama saya:
Fitrah luka ini
Akan menyeretku makin jauh
Jurang yang mengeja
Atau laut yang tak lagi berombak
Rintik hujan diamuk rindu.
Pada kenyataannya semua memang bermula dari nama dan penamaan setidaknya sebagai petunjuk arah atau semacam narasi penjaga harapan.
Seorang perantau asal Minang yang meyakini menu masakan kampung halamannya adalah resep khas yang disukai semua kalangan misalnya, dengan optimis memberi nama restorannya, "Sahabat Minang" atau "Bundo Kanduang"; orang Jawa yang berpikir dan berharap serupa, setelah menyakini banyak hal, memilih menamai kedainya, “Sudi Mampir” atau "Sido Moro" --sebuah ekspresi kelembutan, juga harapan. Warung Tegal yang tersembunyi di ujung gang sempit di Yogyakarta, dengan kreatif diberi nama "Ndelik" oleh pemiliknya dan itu cukup memacu rasa penasaran hingga pengunjungnya membeludak.
Sesungguhnya, itulah “pencitraan yang sebagian “analis” politik warung kopi kerap mengkonotasikannya agak miring hingga dalam sebuah kolom, wartawan senior Goenawan Muhammad, menyindir mereka atas kenyinyiran pertemuan G20 yang megah di Bali namun kemudian dicemooh sebagai upaya “pencitraan" Presiden Jokowi. Mereka tidak melihat bahwa “pencitraan” adalah bagian dari pemasaran dan itu bukan hal baru, kata Mas Goen. "Pencitraan" adalah jalan investasi yang tidak saja dianggap perlu tapi juga bisa berharga sangat mahal.
Goenawan Muhammad kemudian menulis: Saya kira Pertemuan G20 tak serupa dengan perhelatan megah “Ganefo” (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan Presiden Sukarno di tahun 1963, untuk menyaingi Olimpiade. Acara olahraga internasional yang rekor-rekornya tak diakui itu umumnya dihadiri negara-negara sosialis yang datang tak hendak berdagang.
Di masa menjelang perhelatan Pilkada serentak yang sebentar lagi akan tiba, segala upaya "menjual calon" segera akan berkembang biak di hampir semua obyek bergerak dan tidak bergerak. Tiang listrik dan pohon-pohon akan menjadi bagian di mana deretan potret wajah tak asing akan menyapa siapa saja siang malam.
Kata pencitraan kembali datang layaknya usia semua orang yang diam-diam terus menua dan aus. Rasanya, hanya dalam hitungan hari, waktu akan mengirimkan garis pembatas pada mereka yang masih ditikam rasa sakit akibat pertarungan Pemilu yang sarat intrik kemarin sebab yang akan terlihat setelah ini adalah wajah terang para kandidat calon Kepala Daerah.
Seorang teman lantas berkata: "Selesai sudah musim baliho, tiba masanya musim pencitraan." Tapi dia lupa kalau dia — yang sesekali mengecam pencitraan itu— sebenarnya juga sedang melakukan "pencitraan" dengan berupaya mengkampanyekan kebenaran versi sendiri dan membiarkan "dusta" yang terus dimaklumi. Dia juga lupa kalau dengan berfoto selfie dan meng-upload-nya, makhluk terkuat di muka bumi, kaum emak-emak, juga melakukan pencitraan.
Pertanyaan yang tersisa adalah, di era medsos seperti saat ini, masih mungkinkah bisa lepas dari pencitraan?
Fajarullah adalah Ketua DPC PPP Kabupaten Mesuji.
Post a Comment