Header Ads

Tekad Bangkit Ketum Mardiono


Catatan Fajarullah*

Di hadapan saya, limpahan cahaya background panggung yang lembut telah menyulap semua isi ruangan menjadi teduh. Saya duduk di barisan meja sisi kanan dengan dinding berlapis kaca cermin yang sesekali terlihat menyilaukan akibat pantulan blitz kamera handphone beberapa peserta. Pukul 20. 03 WIB. Malam sudah melampaui waktu insya dan Ketua DPW PPP Lampung, Supriyanto baru saja turun melepas sambutan. Sebagai gantinya, di atas panggung itu, kini Plt. Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Mardiono, sedang menyampaikan pidato dengan pilihan-pilihan narasi yang bukan saja bernas, tapi juga penuh energi. 

Lebih dari sekadar limpahan visi dan tekad, orasi Ketum Mardiono dengan semua bentuk aura semangat  malam itu seolah sedang menegaskan kembali eksistensi PPP yang pada 5 Januari 1973  memang dilahirkan dengan segantang tekad. Partai ini adalah hasil fusi dari Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI);  adalah gerakan pengawal kepentingan umat yang terus dipelihara dan terpelihara; adalah alat demokrasi yang sejak kali pertama dideklarasikan, ruh keimanan adalah landasan besar yang menjadi pondasinya.

Sebagai nakhoda pergerakan, melalui iftitah malam itu, saya lekas menangkap betapa sang Ketum sebenarnya juga menyimpan keinginan sangat kuat agar gerbong ini, kelak, bisa berisi barisan para kader yang kuasa menjadi warna dengan segala dinamika berbangsa. Ia, yang tampil dengan balutan jas hijau dan kaca mata sejernih embun, menepatkan diri seolah sedang berhadapan dengan Martin Luther King Jr terutama ketika aktivis  pemimpin gerakan hak sipil tahun 1954 sampai 1968 itu berkata: “Jika saya tidak dapat melakukan hal-hal besar, maka saya akan melakukan hal-hal kecil dengan cara luar biasa,” dan Ketum Mardiono, dengan tekad keras lelaki pelabuhan, sedang menerjemahkan langkah itu sebagai gerakan keseimbangan bagi mereka yang meyakini pentingnya menyandarkan perjuangan atas segenap ketulusan dan tekad.

"Dalam PPP kita harus melakukan semua itu dengan landasan iman,” ucap dia agak bergetar. "Jimat terbesar kita adalah Allah. Jangan mudah termakan mitos yang mengatakan dunia politik adalah  perniagaan atau jual beli suara sebab itu hanya akan membuat kita  lemah."

Tak ingin bergeming, melalui pidato itu pula Ketum Mardiono lantas menguraikan makna kemenangan yang benar-benar akan hakiki hanya jika dilakukan dengan senantiasa melibatkan kehadiran Allah, Tuhan yang Maha Menguasai dan Maha Berkuasa. "Dan iman di dada adalah kunci dasarnya."

Iman dan keyakinanlah yang telah meneguhkan hati para pahlawan ketika berperang mengusir penjajah yang dalam kesempatan malam itu, sang Ketum sungguh menegaskannya. Karena itu, diam-diam saya mulai berpikir;  boleh jadi, dia sebenarnya sedang menghalau semua kader untuk kembali pada pesan-pesan besar KH. Maimoen Zubeir atau Mbah Moen dan para ulama sebelumnya dan itu terkait eksistensi partai yang harus terus  dipelihara dalam upaya  menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.

Kepiawaian dan kefasihan Ketum Mardiono dalam mengemukakan istilah-istilah berbahasa lugas, juga pilihan narasi yang menunduk tapi berisi dan bernas, pelan tapi pasti makin menyeret saya pada ingatan dan kerinduan pada sosok Mbah Maimoen hingga kisah tentang keilmuan dan kelembutan saat beliau masih hidup kembali mengemuka.

Calon Presiden RI yang juga mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pernah menggambarkan  sosok Mbah Moen yang begitu rendah hati dan tidaklah beliau akan menganggap orang lain lebih rendah kecuali sama dengan dirinya.

"Saya selalu digandeng dan dipeluk jika bertemu," kata Ganjar. "Dan saya akan selalu merasa bahwa beliau sangat penyayang. Selama ini, tidak pernah  ada  ucapan buruk yang pernah saya dengar dari beliau."

Ganjar juga mengaku kerap mendapat nasihat terkait pentingnya menjaga mashab kebersamaan demi kemaslahatan umat dan bangsa. "Beliau kerap menjadi rujukan," ucap Ganjar. "Oleh siapa pun dan dari golongan manapun."

Terkait pentingnya menjaga kepercayaan umat, Ketum Mardiono juga berulang kali menegaskan agar para kader menjauhi besikap lemah sebab sifat itu sama sekali tidak dicontohkan oleh Rasulullah.

Begitu pula dengan jabatan politik, pria yang mengawali karier politik mulai dari DPC PPP Cilegon itu dengan tegas berkata: "Jangan jadikan  jabatan sebagai jalan mencari nafkah sebab dia adalah jalan pengabdian untuk memperjuangkan kepentingan umat." Dan, dia mengulangi kalimat itu hingga beberapa kali.

Maka ketika diakhir sesi sang  Ketum berkata akan memberi bonus bagi DPC yang mampu meraih posisi pimpinan di kursi DPRD tingkat kabupaten, pada Sekretaris DPC PPP Mesuji, Sri Wantoro dan Bendahara, Saridan yang duduk mengapit, setengah berbisik saya berkata: "Kita buatkan kantor!"

Wantoro bertanya: "Apanya, Bang?"

"Kalau bonus itu bisa kita raih, uangnya kita gunakan untuk membangun kantor DPC PPP Mesuji."

"Cocok." Saridan menimpali. "Bismillah, Bang."

"Bismillah."

Maka demikianlah. Hari ini semangat dan tekad kami kembali membumbung.  Jauh. Melesat melampaui semua keinginan yang pernah tersemat dan itu tentang bangkitnya partai warisan para ulama ini di sana. Di Kabupaten Mesuji yang terus bergeliat.

Sehat terus, Ketum!

Hotel Horison Lampung, 13 Januari 2024.

 Fajarullah adalah penulis dengan nama pena Fajar Mesaz yang kini aktif sebagai Ketua DPC PPP dan Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.