Header Ads

Kesaksian Untuk Mesuji

Catatan Fajarullah*

SEHARI pasca Sulpakar kembali dikukuhkan sebagai Penjabat (Pj) Bupati Mesuji, tiba-tiba saya teringat pada Lee Kuan Yew, pemimpin Singapura yang pernah mentransformasi negaranya yang kecil, miskin dan nyaris tak memiliki keunggulan tapi kini justru menjadi pemilik Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita melebihi negara yang dulu menjajahnya, Inggris. Sejak mula, Lee sudah mendeklarasikan pentingnya menjadi pemimpin yang dicintai  dengan ekpektasi  penuh api lalu berkata:  “Maka jika tidak bisa, lebih baik menjadi pemimpin yang ditakuti!”

Konsekuensinya memang sama sekali tak mudah. Lee harus menghadapi beragam tantangan pelik terutama   pasca tertolaknya merger negeri kepala singa itu dengan Malaysia:  kehidupan rakyat makin susah, garis  kemiskinan kian tebal dan angka buta huruf terus mencuat naik.  Hingga pada 9 Agustus 1965, Singapura akhirnya resmi menyatakan berdiri  sendiri dan Lee, dengan tekad kebangkitan melampaui ekpektasi,  tampil sebagai sosok pelayan rakyat dengan nyali bertarung pantang surut. Kebijakan-kebijakannya kelak akan terus dikenang sebagai pengabdian membangun peradaban atas negara yang pada 2021 lalu, genap berpenduduk 5,4 juta jiwa.

Apa yang tersirat dari catatan ini? Jejak jiwa! Pilihan sikap Lee Kwan Yew yang menginginkan untuk dicintai, disegani atau bahkan ditakuti adalah alternatif kemauan membangun jiwa dan itu  bukan fragmen: jiwa menggerakan, fisik digerakan;  jiwa menguatkan, fisik benda warisan!

Membandingkan Singapura dengan Mesuji, tentu bukan sikap yang adil sebab keduanya memang bukan bandingan.  Hanya saja, saya ingin berkata bahwa, kekuatan jiwa yang tersistematis, betapapun rumitnya, tetap akan menjadi gerakan memahat peradaban dan itu benar --setidaknya dalam konteks Singapura dan Lee Kuan Yew. Terlepas dari itu, dalam hal dikukuhkannya kembali Pj. Bupati Mesuji, Sulpakar, setidaknya saya mencatat tiga hal.

Menautkan Jalan ke Pusat

Setahun lalu, dalam satu kesempatan saat memperkenalkan diri, Sulpakar menyampaikan bahwa para Kapala Dinas sedang menjemput anggaran ke kementerian sesuai  OPD masing-masing. Mereka, menurut Sulpakar, harus bisa bertemu dengan Dirjen, berfoto diruangannya, kemudian melaporkan hasilnya setelah pulang: Kabupaten Mesuji dapat apa.


Melalui Kabid Bina Marga Dinas PUPR, Indra Oktavandi, saya mendapat gambaran lebih terang soal ini  bahwa, yang disampaikan Sulpakar itu adalah upaya yang benar-benar serius.

"Dari Dinas PU Mesuji saya yang berangkat," kata Hendra dalam sebuah diskusi pada suatu malam yang saya sengaja mendatanginya. Dia kemudian mengatakan kalau Kepala Dinasnya, saat itu,  sedang dalam keadaan sakit.

Hendra mengemukakan kalau dia sempat kebingungan saat kali pertama berada di kantor kementerian. Tak tau harus ke mana. Tak paham mesti menemui siapa. Hingga pada dua hari berselang,  setelah berkutat dengan kepanikan sendiri, dari Mesuji, Pj. Bupati Sulpakar  kemudian menelpon untuk mengarahkannya pada salah satu pejabat  dan Hendra pun menemuinya.

"Tampaknya, kita memang diminta untuk berusaha maksimal terlebih dulu," kenang Hendra. "Meski pada akhirnya beliau tetap saja memandu dari jauh."

Membatasi Keterlibatan Keluarga

Melalui salah satu kerabat Sulpakar di Way Kanan,  saya mendapatkan cerita soal satu ini yang agak terasa mengejutkan:  terkait sikap keluarga atas penetapannya sebagai pejabat bupati. 


"Sebelum bertolak ke Mesuji, semua keluarga sengaja dikumpulkan," kata kerabat itu dengan pandangan mata agak jauh tapi tanpa helaan napas. "Intinya, selama beliau menjadi Pj di sana, kami  dilarang  ikut latah jadi pemborong atau bermain proyek kecuali yang memang ahlinya."

Tentu saja pernyataan itu membuat saya terkejut sebab rasanya agak tak lazim --setidaknya dalam pengamatan  sejauh ini-- bahwa,  ikhwal 'penguasaan' proyek --atau sebutan lainnya-- baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, selalu saja adalah bahan obrolan yang memang agak spesifik pada kekuasaan. Sebenarnya hal macam ini sudah menjadi rahasia umum dan itulah keadaan yang berlaku hampir di semua tempat bahkan hingga detik ini.

"Sah-sah saja," kata seorang teman. "Namanya juga penguasa," kata teman yang lain. "Mumpung ada kesempatan," tegas kawan yang lain lagi. "Gasak abis!"

Dan ketika saya menanyakan prihal keterlibatan  itu  pada  beberapa kolega, dengan lugas, saya segera mendapat jawaban hampir senada: "Sepertinya memang tak ada!"

Menggandeng Dunia Usaha

"Sekitar 563,14 kilometer jalan di Mesuji semuanya rusak parah."


Di sela-sela penandatanganan kesepakatan antara Pemkab Mesuji dan Dunia Usaha dalam  penanganan Infrastuktur, Sulpakar menegaskan kondisi itu dengan mimik sangat serius. Meski kerusakan ini adalah akumulasi sejak waktu sebelumnya, tetap saja,  buruknya kondisi infrastruktur adalah persoalan paling serius. Keadaan ini    mengharuskan  Pemkab membuat terobosan lain sebab APBD Mesuji yang terbatas memang tak akan bisa menjangkaunya. Dan, inovasi adalah pilihan yang akhirnya benar-benar harus ditempuh.

Belasan perwakilan perusahaan  ikut terlibat dalam penandatanganan itu seolah menegaskan kesadaran  bahwa, menjaga kondisi infrastruktur, bagaimanapun buruknya, sesungguhnya adalah  tanggungjawab bersama.

Perusahaan-perusahaan itu antara lain: PT. Sinar Pematang Mulia,  PT. Pematang Agri Lestari, PT. Garuda Bumi Perkasa, PT. Sungai Budi Group,  PT. BSMI Group, PT. Prima Alumga, PT. Sumber Indah Perkasa, PT. Hutama Karya, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Russelindo Putra Prima, PT. Pratama Nusantara Sakti, PT. Bumi Tapioka Sejahtera CV. Sejahtera.

Pilihan Sulpakar untuk menggandeng dunia usaha, sesungguhnya juga adalah catatan lain atas  cermin keberpihakan. Bagaimanapun, bagi sebagian orang, keseriusan memaksimalkan segala sumber daya sejatinya juga adalah   tapak yang akan terpahat sebagai jejak jiwa yang kelak akan terus dikenang atau tidak sama sekali.

Tentu saja, sebagaimana ungkapan tak ada gading yang tak retak,  keberadaan
right man in the right place juga tetap menjadi  faktor penting sebab  di tangan bawahan yang salah, sepotong tongkat kayu bahkan bisa berubah menjadi bara api yang menyala-nyala.

Saat saya hendak mengakhiri catatan ini,  secara mengejutkan sebuah pesan masuk  melalui WhatsApp dan itu datang dari Kepala Desa Sritanjung, Mat Kalu. Ia mengirimkan sejumlah foto dan video dengan satu catatan kecil yang membuat saya kembali tercenung: "Ini peresmian peletakan batu pertama tower Telkomsel di Desa Sritanjung," tulisnya hingga saya bergegas memberikan emoji sebagai bentuk kegembiraan. Atas hal ini, diam-diam saya kemudian berbisik: "Ah! Semua memang selalu menjadi kesaksian!"

*Fajarullah adalah penulis dengan nama pena Fajar Mesaz. Saat ini aktif sebagai ketua DPC PPP Kabupaten Mesuji.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.