Hamka Kecil Itu Datang Dari Makassar
Catatan Fajarullah*
Lebih dari penyampaian visi dan tekad, orasi Dzulfikar di malam dengan rintik hujan membasahi atap Dome Balikpapan itu seolah sedang menegaskan kembali eksistensi Pemuda Muhammadiyah yang pada 2 Mei 1932 telah dinyatakan sebagai Organisasi Otonom (Ortom) yang bertugas mengasuh dan mendidik para pemuda keluarga persyarikatan.
Sebagai nakhoda pergerakan, melalui iftitah itu, saya menangkap betapa Dzulfikar menyimpan keinginan sangat besar agar gerbong Pemuda Muhammadiyah di masanya bisa berisi barisan pemuda berilmu yang bukan saja mampu memprediksi masa depan tapi juga mewarnainya. Ia menempatkan diri seolah sedang berhadapan dengan Martin Luther King Jr yang berkata: "Jika saya tidak dapat melakukan hal-hal besar, maka saya akan melakukan hal-hal kecil dengan cara luar biasa,” dan Dzulfikar, dengan tekad keras bangsawan Bugis, justru menerjemahkan semua langkah itu sebagai gerakan keseimbangan bagi mereka yang meyakini pentingnya menyandarkan hidup dengan ilmu dan akhlak.
"Ada derajat tertinggi ketika kita memiliki ilmu," ucap dia dengan suara Tenor, di bawah tatapan muktamarin dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu'ti, juga Ketua Pemuda Muhammadiyah demisioner, Sunanto. "Sampai-sampai Imam Ghazali berani berkata: peringkat tertinggi setelah kenabian adalah mengajarkan ilmu!"Ilmulah yang telah membersihkan hati manusia dari akhlak buruk menjadi cahaya yang dalam pidato malam itu, Dzulfikar sungguh menegaskannya.
Diam-diam saya mulai berpikir: mungkin, Dzulfikar sebenarnya sedang mengajak semua pihak untuk kembali masuk ke dalam pesan-pesan besar KH. Ahmad Dahlan yang salah satunya adalah menjadikan kasih sayang dan kemanusiaan sebagai kartu identitas. Tentu berikut pentingnya mencairkan kekentalan dinamika 'mencari hidup di Muhammadiyah' yang bagi beberapa daerah kondisi ini terus tumbuh subur hingga upaya mempertahankan identitas itu bahkan serupa menjaga biji kemiri di bibir perahu.
Tapi meski begitu, tampaknya, Dzulfikar tak ingin bergeming dan hal itu tergambar saat ia menguraikan makna kemenangan sebagai perayaan yang harus melahirkan harapan-harapan baru sebab tak ada kemenangan yang benar-benar hakiki kecuali dilakukan dengan cara bangkit bersama.
"Kita semua datang ke sini dengan membawa aspirasi politik masing-masing," dia berkata. "Tapi kita tetap berada dalam satu jaminan: cinta terhadap pergerakan Muhammadiyah."
Kepiawaian dan kefasihan Dzulfikar dalam mengemukakan istilah-istilah berbahasa Arab, juga pilihan narasinya yang menunduk tapi berisi serupa bulir padi, seakan sedang menyembuhkan kerinduan saya pada sosok Buya Hamka hingga kisah tentang kelembutan saat beliau mendengar kematian Bung Karno tiba-tiba mengapung di kepala:
Abdul Karim Oei Tjeng Hien yang membawa kabar itu. Dia membisikkannya dengan sangat hati-hati dan Buya yang sempat terhenyak, menarik napas dalam-dalam lantas berkata: "Tidaklah salah jika saat demikian saya ingat Soekarno yang dahulu: yang ikhlas dan bersih."
Dalam buku Kepada Sahabatku, Ir. Soekarno, Hamka juga menuturkan bahwa Soekarno adalah orang besar yang sejak masa muda telah ditumbuhkan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran bangsanya, juga melanjutkan apa yang telah dimulai gurunya: HOS Tjokroaminoto."Seluruh kasih-sayang, hari muda dan masa tuanya, telah dikorbankan untuk membina bangsa ini. Dia telah menggembleng semangat dan membina kesatuan kita," ucap Buya seluas hamparan ilmu yang terus menapakan kebijaksanaan yang kelak akan melampaui batas dan masanya.
Dan, hari ini, Hamka Kecil itu agaknya telah datang. Jauh. Dari tempat kelahiran sosok Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di Makassar.
Selamat, Ketum!
Balikpapan-Lampung, Februari 2023.
*Fajarullah adalah penulis amatir dengan nama pena Fajar Mesaz, aktif sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung.
Post a Comment