Di Kampung Jadi Benang di Rantau Menjadi Tali (Bagian 2/Habis)
Bupati Sulpakar yang muncul beberapa menit berselang segera disambut celoteh dan gelak canda para emak-emak dan mereka saling menikmatinya. Tak tampak lagi protokoler birokrasi atau sekat pembatas di halaman belakang yang beberapa orang di antara mereka sempat menanyakan apakah saya sudah ngopi. Semua orang seolah sudah saling terikat untuk menjadikan dirinya sebagai seutas benang atas tenunan kekerabatan yang merenda seindah senja.
Menjelang siang, ditemani Direktur Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) PT. Citra Putra Indarab Cabang Lampung, Bintang Purna Irawan, yang sengaja mengantar saya, kami masih sempat berdiskusi kecil dengan Bupati Sulpakar sebelum kemudian dia beranjak menuju makam kedua orang tua dengan ekspresi yang sempat membuat saya tercekat: matanya basah, suaranya mengecil dan dia berucap agak terbata-bata.
"Saya selalu sedih jika ingat Ibu," ucapnya dengan suara bergetar. "Ibu meninggal saat persiapan sunatan masal 31 Desember 2015 hingga akhirnya agenda harus ditunda pada 2 Januari 2016 dan itulah yang membuat saya selalu teringat pada beliau setiap akhir tahun."
"Apakah diizinkan kalau saya ikut menemani?" tanya saya yang akhirnya ikut hanyut dalam kondisi itu.
"Tidak usah. Kamu kan baru datang. Istirahat saja dulu. Biar saya sendiri."
Dan itu, sekali lagi, adalah kisah tentang benang yang lain.
Di Rantau Menjadi Tali
Merawat kedekatan, sebagai bagian dari pola komunikasi dua arah --saya sering menyebutnya dengan membangun jiwa-- sebenarnya sudah sering dilakukan Pj Bupati Sulpakar sejak dia mulai menginjakan kaki di Mesuji. Sesekali, saya bahkan pernah memotretnya.
Sebut misalnya, bagaimana ia menyerahkan bendera pelepasan jalan sehat HUT Mesuji tahun ini pada Ketua DPRD Mesuji, Elfianah; dia menjadikan rumah mantan Bupati Mesuji, Saply TH sebagai salah satu tempat transit dalam perhelatan MTQ yang digelar di Mesuji; dia mengunjungi keluarga dan menziarahi makam pendiri Mesuji, Pangeran Mad lalu bertekad segera memugar makam dan rumah pusaka itu sebagai obyek cagar budaya; dia meyakinkan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi untuk turut mencintai Mesuji dan seingat saya, atas hal ini, Gubernur Arinal setidaknya sudah lebih dua kali datang ke Mesuji --dalam waktu kurang dari satu tahun-- dan banyak lagi.
Layaknya seutas tali yang atasnya orang-orang saling berpegangan, keadaan yang sama juga kembali terlihat pada malam kedua dan ketiga menjelang pelaksanaan khitan masal itu: beberapa Kepala Dinas (Kadis), Kepala Badan (Kaban) dan Kepala Bagian (Kabag) Pemkab Mesuji terlihat berdatangan yang pada keesokan harinya disusul oleh para Kepala Desa, Camat dan perwakilan wartawan. Kepala Inspektorat, Edison Basid, bahkan sempat bermalam sejak hari kedua.
Tentu saja, kehadiran yang tidak secara bersamaan itu pada akhirnya juga menyisakan kisah tentang salah jalan dan itu adalah joke yang menggelikan:
Kepala Desa Panggungrejo Kecamatan Rawajitu Utara, Rofiah, yang dikabarkan tersesat sejak pukul sepuluh pagi, akhirnya tiba dengan jilbab kusut masai dan berjalan agak miring-miring pada hampir pukul sepuluh malam.
"Ya, Allah. Sampai juga," dia berseru dan Bupati Sulpakar bergegas menyambutnya di muka pagar.
Hal yang sama juga terjadi pada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Arif Arianto: "Kami nyasar, Mas. Google map-nya ngaco," melalui sambungan telepon, dia berkabar pada saya.
"Nyasar di mana? Sama siapa?"
"Nggak tau ini. Banyak pohon karet. Saya sama Kadis LH Agung Subandara, sekretaris Dinas Kesehatan dan Kepala BKPSDM."
Sampai kemudian kabar gembira itu akhirnya datang dan mereka benar-benar sampai ke lokasi tujuan dengan, tentu saja, sehat wal afiat. Pada saat itu, saya sudah menyepi di RH Coffe Baradatu dengan tanpa lagu Kal Hoo Na Ho kecuali senandung Arda Disabilitas yang menenggelamkan Tatu yang melow: wong seng neng sandingmu, ben melu krungu piye tenane. (Fajar/F1).
Post a Comment