Header Ads

Di Kampung Jadi Benang di Rantau Menjadi Tali (Bagian 1)

TempoIndonesia.net

Di hadapan ratusan anak peserta khitanan masal dan para orang tua yang  mendampinginya, Bupati Way Kanan, Raden Adipati, menyampaikan pesan bernada teguh dan itu majas sekali: "Di Lampung banyak  orang hebat tapi (dari yang banyak itu) hanya sedikit yang masih mau berbakti untuk kampungnya."

Mudah ditebak.  Sosok yang sedang dimaksudkan itu adalah seorang  kolega asal Desa Bandar Dalam yang sedang menjadi Penjabat (Pj) Bupati Mesuji dan hari ini kembali menggelar agenda bakti sosial tahunan secara pribadi untuk yang ke-14, Sulpakar.

Sudut halaman hingga jalan depan rumah sang Pj. Bupati sudah penuh sesak. Beberapa pedagang mulai menata barang di bibir drainase terdekat. Gemuruh suara kereta, sayup-sayup terdengar dari stasiun yang berada tak terlalu jauh dan sambutan singkat Adipati itu --yang hanya berlangsung beberapa menit saja-- segera menjadi titik awal dimulainya proses khitan yang sakral (31/12/22).

Sepuluh meja berlapis kain  putih yang sudah disusun menjadi zal di sisi kiri halaman perlahan mulai dipenuhi peserta khitan dengan tak kurang 20 tenaga medis juga telah bersiaga:   anak-anak yang  sejak pagi telah didudukan di kursi khusus, mulai dipanggil satu per satu untuk mengambil sarapan  dengan menu daging kerbau dan sapi sebelum kemudian dibawa melangkah menuju salah satu zal  kosong sambil menenteng tote bag berisi bingkisan.

Jerit dan tangis segera terdengar. Beberapa anak yang masih gamang tak kuasa menahan tikaman jarum suntik dan itu sungguh tak terelak.

"Sakit, Maaak!" pekik salah seorang yang sedang meronta di zal dekat pagar depan.

"Nggak apa-apa. Laki-laki kamu itu. Jangan laju cengeng." Ibunya, seorang perempuan asal Kampung Kalipapan dengan kerudung yang sudah menjuntai hampir jatuh terus memegangi dari arah kepala  dengan sama  sekali tak peduli kalau kerudung itu sedikit lagi akan  menutup kedua matanya.

"Sakit, Mak!"

"Nggak sakit. Cuman dikit."

"Tapi ini sakit!"

"Nggak apa-apa. Sebentar aja."

"Kalau nggak percaya coba Emak aja yang sunat!"

"Anah! Ngapa kamu laju nyuruh saya. Lawang!"

Orang-orang yang berada paling dekat tak kuasa menahan tawa dan itu adalah salah satu momen cukup menggelikan di bawah pukul 13.43 WIB saat kegiatan kemudian berakhir dan para kerabat kembali bergegas menyusun  kursi. Sebagian yang lain, terlihat mulai menyapu dan membersihkan sampah sementara satu kelompok lagi sudah sibuk menaikan meja ke atas pick up untuk dipulangkan.

Khitanan semacam ini sebenarnya bukanlah hal baru bagi Pj. Bupati Sulpakar dan dia sudah memulainya sejak 2009. Hanya saja, titik lokasinya selalu berpindah-pindah sesuai tempat tugas dan khusus di Desa Bandar Dalam, menurut ingatannya, hari ini adalah  kali yang ketiga.


Di Kampung Menjadi Benang

Saya sendiri tiba di sana tepat saat  empat ekor kerbau dan satu sapi gemuk baru selesai dipotong dan para kerabat terdekat sudah tumpah ruah di sekitar rumah bercat putih.

"Semua adalah keluarga dan tetangga dekat:  Nggak ada orang lain," ucap Bupati Sulpakar saat wajah saya mulai menyapu hampir semua sudut lokasi di sisi kiri rumah itu.  Kesibukan memotong  dan memasukan daging  ke pelastik masih terus berlangsung dan itu sempat agak  membingungkan:

"Daging-daging itu mau dibawa ke mana, Pak?" saya bertanya.


"Dibagikan ke rumah-rumah: dua kerbau," jawab dia. "Sebagian yang lain kita persiapkan untuk para tamu besok dan lusa juga untuk anak-anak peserta khitan dan orang tuanya, termasuk kita semua."

"Tapi ini bukan hajatan 'kan, Pak?"

Dia tersenyum, "bukan," kemudian menggeleng. "Ini murni sunatan masal. Clear. Tak ada agenda apa pun apalagi politik," dan  saya yang mulai merasa kehabisan pertanyaan kemudian meminta izin untuk beranjak ke bagian belakang meski masih belum sepenuhnya mengerti.

Di sana, puluhan kaum ibu dalam kerumunan-kerumunan kecil tampak sudah duduk bersimpuh dengan wajah terang sambil kedua tangan melakukan banyak hal: mencuci dan memotong daging, mengiris dan menggoreng bawang, menjejalkan kayu bakar ke mulut tungku, mencuci beras, memasak nasi, membersihkan baskom,  membuat kopi, mencuci gelas dan piring, mencicipi kuah sayur santan yang masih berasap kemudian salah seorang di antara mereka  berkata: "Langsung pakai nasi, Wah. Sekalian. Kalau kira-kira sudah enak, nambah," lalu  mereka tertawa. (Fajar/F1).

 BERSAMBUNG

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.