Header Ads

Ada Tekad di Balik Batu



*Opini Fajarullah

MESKI terdengar bombastis, saya ingin berkata: ini tekad! Peletakan batu pertama pembangunan Sekretariat PWI Mesuji di Desa Brabasan Kecamatan Tanjung Raya pada senin lalu adalah bentuk sebuah tekad, sebab setelah gedung itu jadi, kelak akan tersemat pula nama Muhamad Ali bin Pangeran Djugal atau Pangeran Mad dan ini sekaligus  kehormatan.

Alih-alih ikut hadir karena sedang berada di luar kota, momentum peletakan batu itu segera membawa ingatan saya pada sosok Dasrath Manjhi, lelaki miskin asal India yang pernah memahat bukit batu Gehlaur agar desanya yang melarat bisa memiliki akses menuju rumah sakit. Kota yang berdokter berjarak 70 kilometer dari dusun sekarat itu dan inilah penyebab kematian isterinya: sebuah bukit batu menjadi penyebab akses begitu sulit dan lelaki gunung itu kemudian 
memutuskan untuk memahatnya. Dia harus meretas jalan pintas untuk mewujudkan tekad itu dan dia melakukannya hanya dengan bantuan pahat dan palu, selama 22 tahun!

Kisah ini menjadi begitu masyhur setelah 
sutradara, Ketan Mehta, turut mengangkatnya dalam film penuh inspirasi berjudul, Manjhi, The Mountain, Man, pada tahun 2015.

Tentu saja, tulisan ini tidak sedang mengajak meresensi film itu sebab peletakan batu pertama dan nama Pangeran Mad adalah hal yang berbeda. Saya hanya ingin berkata bahwa, jika ditarik ke garis halusinasi, maka dua hal penting atas peristiwa itu akan segera terbaca: tekad dan batu. 

Juan Situmeang, mantan Ketua PWI Mesuji sebelum Alzoni dan Apriadi, dalam catatannya berselang sehari kemudian menuliskan bahwa, apa yang sedang dilakukan oleh PWI Mesuji hari ini tidak bisa hanya dilihat sebagai meletakkan batu pertama semata. Lebih dari itu, mengambil istilah Juan dalam tulisan tersebut, ini adalah langkah awal 'pasukan' PWI Mesuji dalam mengawal kepercayaan publik yang harus selalu dijaga sekuat yang bisa dilakukan. Sebab jika tidak, maka kelak bangunan itu tak akan memiliki pijakan yang kokoh dan hanya perkara waktu melihat ia runtuh dihantam gelombang waktu.

Sebagai seteru yang sering seiring tapi lebih sering setinggalan jalan, saya mencoba bersepakat dengan Juan dalam hal ini meski itu saja tentu tidak cukup --alangkah enak Juan mencibir saya dengan mengatakan: "Ah! Cuman mak itu bae," kalau tulisan ini segera saya cukupkan hanya sampai di sini.

Karena itu, saya ingin mengemukakan catatan juga terhadap paling tidak empat sosok penting yang menyeruak dalam moment ini yang kesemuanya, secara mengejutkan, ternyata juga sudah diramu untuk tersemat menjadi nama gedung itu: Suwara (Sulpakar, Wirahadikusumah, Apriadi) Muhammad Ali. 

Nama Wirahadikusumah, adalah satu-satunya yang tidak beraktivitas di Mesuji dan dia adalah Ketua PWI Lampung hari ini. Saya sendiri sebenarnya sudah cukup familiar dengan nama ini bahkan sejak beliau masih di Radar Lampung. Hanya saja, kami memang belum pernah bertemu atau sekadar bertatap muka baik secara sengaja atau pun tidak, sampai hari ini.

Lebih dari itu, penyematan nama Pangeran Mad tentu memberi kesan tersendiri. Kita tahu, beliau adalah tokoh penting atas terbentuknya Kabupaten Mesuji
sebagaimana disebutkan dalam buku Etnografi Marga Mesuji terbitan Dinas Pendidikan setempat. Dia lelaki penuh tekad dengan ayunan langkah seorang petarung meski rangakaian huruf yang menuliskan namanya pada gapura pemakaman di Wiralaga, terus berjatuhan. Hampir semua masyarakat Mesuji mengenali sosok ini sebagai tokoh penting meski rumah tempat ia pernah tinggal sama sekali tak pernah dianggap penting untuk sekadar dipugar atau dipantaskan. 

Atas penyematan nama Pangeran Mad pada Sekretariat Pwi Mesuji  mendatang, tentu saja, saya ingin menyampaikan apresiasi mendalam sebab keputusan itu sebenarnya sedang mengingatkan semua pihak untuk  bijak menghormati pendahulu. Sungguh, ini adalah tabiat yang membuat saya rela mengangkat kedua tangan karena saya juga meyakini bahwa, tak akan ada komunitas apa pun yang akan besar dalam limpahan wibawa kecuali mereka yang dengan sadar menghormati para pendahulu.

Selanjutnya adalah nama yang mulai tak lagi terdengar asing: Sulpakar, Penjabat Bupati Mesuji saat ini, yang kali pertama saat ia tiba, saya segera sadar bahwa, kabupaten muda ini kini sedang digerakkan oleh sosok lelaki petarung yang juga menghormati pejuang.

Potret itu muncul pada tiga bulan setelah beliau tiba, tepat di ambang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-77: di Makam Pangeran Mad, ia menegaskan bahwa lahat pendiri Mesuji itu, berikut istri dan saudara kandungnya, harus menjadi perhatian serius sebagai bentuk penghormatan. Pernyataan itu ia sampaikan di depan para pejabat dan keluarga Pangeran Mad sesaat ketika dilakukan pemberian tali asih pada ahli waris, juga kegiatan tabur bunga.

Sulpakar juga telah mengambil sikap bulat untuk menggelontorkan dana renovasi dan perawatan rumah tempat tinggal Pengeran Mad itu dengan berulang menegaskan bahwa, rumah itu adalah aset cagar budaya.

Lalu Apriadi, nama yang boleh dibilang --dari tiga nama sebelumnya-- sudah cukup lama saya kenal. Kami berdua sama-sama aktif di Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Mesuji dan Apri, saat ini, juga adalah pengawal setia SMP Muhammadiyah 1 Kecamatan Way Serdang. 

Dulu, saat gerakan pemberdayaan Ruang Belajar Masyarakat (RBM) masih bergeliat, bersama Juan Situmeang dan Segan Petrus Simanjuntak, dia adalah pengelola bidang Komunikasi dan Informasi dan kami sering berdiskusi bersama dalam banyak kesempatan: Mesuji tak mungkin dibiarkan berjalan sendiri dengan birokrasi yang miskin ide, sumberdaya yang kering kepekaan, dan satuan kerja yang nyaris tak memiliki konsep.

Membangun fisik tentu adalah langkah penting, tapi membangun jiwa, dengan segala pernik dan dinamika sumberdayanya, tak bisa dianggap hanya sampah. Ingat lagu Indonesia Raya? Kalimat 'bangunlah jiwanya' selalu disebut lebih dulu sebelum rangkaian kata, 'bangunlah badannya.'

Jadi, jika tak ada yang terus menimbun tekad layaknya susunan batu-batu untuk tidak meninggalkan generasi lemah di belakang hari, hanya soal waktu, Mesuji akan kembali ke zaman batu!

*Fajarullah adalah aktivis, jurnalis dan penulis dengan nama pena Fajar Mesaz, juga Ketua DPC PPP Kabupaten Mesuji.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.