Smart School di Batas Kota (Bagian 2/Habis)
TempoIndonesia.net
Laporan: Fajar/F1
Kembali ke Guru Mengabdi, Iik Atika, pengajar SMAN 2 Metro yang mendapat lokasi penugasan di SMAN 1 Rawajitu Utara mengaku memperoleh banyak pengalaman atas program ini. Ia ditugaskan dari tanggal 2 sampai 7 Oktober 2022 dan dilepas oleh Kadis Pendidikan Provinsi Lampung, Sulpakar, di Hotel Emersia, Bandar Lampung.
"Kami dilepas pukul 11.00 WIB dan baru tiba di Rawajitu Utara pukul 20.00 WIB," kata Iik.
Hal pertama yang segera ia rasakan setiba di lokasi adalah sulitnya akses menuju sekolah dan kondisi itu terus ia alami selama penugasan.
"Rata-rata jalan di Rawajitu belum dilapisi aspal. Kalau hujan penuh dengan lumpur dan kondisi ini sangat menyulitkan semua jenis kendaraan yang hendak melintas," kenang Iik.
Akibatnya, pada hari pertama kedatangan, ia dan rekan-rekannya harus bermalam di luar desa tujuan dan perjalanan kembali dilanjutkan pada keesokan harinya dengan jarak tempuh 4 KM dalam akses yang sama: penuh lubang, becek juga berlumpur.
"Sejujurnya, kondisi ini sama sekali berbeda dengan keadaan di Metro yang akses dan fasilitasnya hampir semua baik. Di Rawajitu, saya harus mengajar dengan kondisi apa adanya dan fasilitas serba terbatas," urai Iik.
Akses internet?
"Boleh dibilang sama buruknya. Jaringan internet belum sepenuhnya menembus wilayah Rawajitu Utara," tegas Iik. "Tapi yang tak kalah penting dari semua itu, mungkin fasilitas belajar mengajar. Di sekolah ini tak ada lapangan, tak ada alat-alat olahraga, tak ada alat kesenian dan buku-buku cetak. Begitu pula dengan perpustakaan sekolah."
Namun meski demikian, hal yang paling membekas dari kegiatan ini bagi Iik adalah pemahaman bahwa, metedologi pendidikan justru akan lebih efektif jika tidak menjauh dari kondisi keseharian para siswa.
"Bisa dibilang, pada akhirnya kita memang memerlukan pola pendidikan yang kondisional sesuai kondisi ekonomi dan kultur masyarakat di sebuah wilayah," ungkapnya.
Guru Magang, Gerakan Guru Jiwa
Terkait Program Guru Magang, kondisi berbeda justeru dialami Helia Maliza. Dia adalah pengajar di SMAN 1 Simpang Pematang yang dalam program ini mendapat kesempatan mengajar di SMAN 1 Metro.
Kali pertama tiba, Helia segera menyadari kalau kekuatan utama dari sekolah yang ia tuju ternyata bukan melulu soal fasilitas fisik tapi juga jiwa para pengajarnya.
"Sejak awal, aura itu sudah terasa: para guru di sana menyambut saya dengan sikap yang membuat saya merasa seolah sedang mendatangi keluarga sendiri. Saya diterima dengan senyum dan setiap guru berusaha menyapa dengan ekspresi wajah terbaik," kisah Helia.
Kekaguman ini tidak hanya berhenti di situ. Semakin jauh memasuki aktivitas sekolah, ia kembali dibuat terpana dengan cara para guru menghadapi keberagaman kondisi siswa.
"Mereka terlihat begitu dekat dengan semua siswa bahkan tak segan-segan bergabung dalam kerumunan anak-anak itu. Saya melihat Kepala Sekolah mendekati beberapa siswa yang sedang berteduh di jam istirahat lalu bertanya: apa yang sudah kamu lakukan hari ini?," kenang Helia.
Pemandangan ini, tanpa ia sadari, diam-diam telah memberinya pembelajaran yang lain bahwa, pada akhirnya dia justru menimba banyak pelajaran. Pada satu kesempatan, Helia juga menyaksikan bagaimana para guru itu mengemukakan penghargaannya pada setiap siswa yang hadir dengan cara yang sebenarnya cukup sederhana namun begitu mengena.
"Dengan suara tulus, mereka menyampaikan ucapan terimakasih pada semua anak, satu persatu, sesuai urutan buku absen. Ini adalah sesuatu yang tak pernah saya pikirkan yang pada akhirnya saya praktikan setelah kembali," urai Helia.
Di SMAN 1 Metro, para siswa juga rela mengantri panjang, dengan penuh kesadaran, hanya untuk mendapatkan giliran berkonsultasi dengan Guru BP. Persoalan yang mereka adukan pun bermacam-macam. Mulai dari masalah sekolah, pribadi hingga terkait keluarga dan antar teman.
Seperti halnya Helia, Sondang Limbong, juga merasakan hal yang serupa. Sebagai guru mata pelajaran Agama Kristen di SMAN 1 Simpang Pematang, ia juga mendapat kesempatan ikut magang dalam gerakan ini.
Selama seminggu berada di sana, Limbong menemukan banyak hal yang jika itu dia adopsi maka ia yakin, dampaknya akan segera terasa dalam proses pembelajaran.
"RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), misalnya. Guru-guru di sana lebih mengutamakan substansi dengan cara membuatnya lebih sederhana tapi tetap mengacu pada kurikulum," kata Limbong.
Hal lain, pola penanaman disiplin siswa yang ditanamkan melalui pendekatan psikologis.
"Hasilnya cukup mengagumkan. Saya melihat setiap tugas yang diberikan pada siswa, hampir pasti akan mereka kumpulkan tepat waktu. Kondisi ini sangat berbeda dengan di sini: bahkan sampai waktu libur tiba, tugas siswa belum juga bisa semua terkumpul," urai Limbong seraya tersenyum.
Diakhir wawancara, pada Ketua PWI Mesuji, Apriadi, saya sempat berbisik bahwa, gerakan ini sesungguhnya adalah sebuah terobosan yang mengingatkan pada filosofi seorang guru yang saya dapat dari seorang kolumnis senior dan penerjemah:
Jika seorang guru hanya mengajar terus setiap hari --“yang penting saya terus mengajar."— tetap saja tak ada yang bisa menyakini dia akan menjadi guru yang berjiwa. Bukankah begitu banyak orang menyanyi setiap hari namun suaranya tetap saja tidak pernah berjiwa? Mungkin, karena itulah, sebuah terobosan pada akhirnya menjadi hal yang terus dianggap penting.
Seperti Gerakan Guru Mengabdi dan Magang ini: dia telah menjelma menjadi role model smart school yang melintasi batas kota. (*)
Post a Comment