Header Ads

Jangan Lukai Mbah Moen

Opini Fajarullah*

Di hadapan saya, sebuah kabar dari portal berita online terpampang melalui layar gadget. Isinya cukup mencengangkan: Ketua Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Mardiono,  resmi ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum DPP PPP. Pengukuhan dilaksanakan dalam sebuah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang dihadiri Ketua Dewan Syariah KH. Mustofa Aqil Siraj dan Ketua Dewan Kehormatan KH. Zarkasih Nur. Digelar di Hotel Swiss Modern Cikande, Serang, Banten pada Senin (5/9/22).

Sehari berselang, 6 September 2022, melalui pemberitaan detikNews, saya kembali terkejut atas informasi yang berulang muncul tapi dengan kabar berbeda: Suharso Monoarfa mendatangi Workshop Anggota Legislatif PPP di Jakarta dan memastikan bahwa beliau masih eksis sebagai Ketua Umum PPP.

Sampai di titik ini, untuk kali pertama, saya segera tertegun. Saya seolah kembali terseret pada pemaknaan politik bagi sebagian orang yang menyebut sebagai ruang saling menjatuhkan, muara kegaduhan, juga dinamika perebutan kekuasaan yang setiap proses pergantian --apapun alasannya-- memang harus dipahami sebagai sesuatu yang tidak saja lumrah tapi juga tanpa ironi. 

Selama beberapa menit, saya seperti kehabisan kata. Selain begitu cepat, kejadian ini terasa sangat mengejutkan sebab pada saat yang sama, para kader PPP di daerah justru sedang berkutat membangun kembali basis kekuatan pasca peristiwa ambang Pemilu 2019 yang menimpa Ketum sebelumnya, Romahurmuziy. Melalui satu dua kolega, saya juga mengetahui kalau beberapa DPC bahkan sedang melakukan pemantapan keanggotaan pasca klarifikasi keanggotaan ganda oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kondisi ini mungkin belum sepenuhnya usai. Itulah mengapa, berita yang mencuat sangat tiba-tiba itu, sedikit banyak, terasa cukup mengentak.

Saya sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi. Saya juga tak berusaha mencari tahu mengapa hal semacam ini bisa terjadi. Saya hanya berpikir, mungkin, dalam dunia politik praktis, ini adalah peristiwa yang lumrah terjadi meski bagaimanapun, bagi saya yang baru menjadi kader seumur jagung, peristiwa ini adalah kejadian besar kali pertama yang langsung saya saksikan. 

Belum genap setahun saya diamanahi sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP Kabupaten Mesuji pasca Tim Formatur Musycab menunjuk saya untuk menggantikan ketua sebelumnya, Untung Supriadi --kini sekretaris DPW PPP Provinsi Lampung. Sebelum benar-benar mengiyakan, sebulan lebih saya mempertimbangkan permintaan itu. Meminta pendapat dari berbagai kolega, juga menghitung segala kemungkinan baik dan buruk. Sampai kemudian, pada suatu malam di masa dua per tiga, saya bermimpi bertemu Mbah Moen --tiga kali berturut-turut-- dan itulah alasan terbesar hingga akhirnya saya benar-benar berada di partai ini. Mungkin, itu pula yang membuat mata saya tiba-tiba basah sesaat setelah membaca kabar 'perseteruan' yang bagi saya terasa sangat mengejutkan ini.

Namun saya juga percaya bahwa, tak mungkin makna 'perpecahan' itu ditelan mentah-mentah sebab selama ini, keteladanan Mbah Moen --semoga Allah mengampuni beliau-- justeru selalu memperlihatkan hal yang saling memuliakan:

Mbah Moen-lah yang senantiasa mengingatkan bahwa gerakan politik bukanlah kepentingan sesaat, tapi sumbangsih untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan. Beliau menyemangati santri-santrinya --juga para kader PPP-- untuk senantiasa mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyebarkan konsep Islam yang bukan hanya penuntun kehidupan tetapi juga menyamankan bagi umat lain. Beliau adalah contoh pemimpin yang konsisten menjalankan fatwa tentang cinta tanah air adalah bagian dari penanda keimanan.

Dalam konteks internal, Mbah Moen tak henti-hentinya mengingatkan agar pengurus PPP di semua tingkatan membiasakan introspeksi diri
dalam prinsip amar ma'ruf nahi mungkar sebagaimana layaknya kiprah sebuah partai berazas Islam.

Karena itulah, atas hal yang tejadi hari ini, saya hanya berharap, partai yang beliau amanatkan untuk selalu dijaga ini tidak kembali tercabik. Sungguh, saya terus berdoa semoga setiap kader di partai ini, dengan segenap kesadaran dan kapasitasnya, tidak membiarkan ambisi sesaat dalam wujud apapun menjadi hal yang membutakan mata hati.

Wallahi, jangan lukai hati Mbah Moen!

*Fajarullah adalah novelis dengan nama pena Fajar Mesaz. Aktif sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Mesuji.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.