In Memoriam Azyumardi Azra: Dari Penulis Entreprenuer ke Negosiasi Syariah Islam
“DI ERA ini, menjadi penulis, peneliti ataupun intelektual, kita juga harus memiliki usaha lain, Bro. Jika tidak, desakan ekonomi dapat membuat kita melakukan tindakan yang merusak integritas diri dan keilmuan. Padahal mungkin uang yang ia ambil itu tak seberapa.”
Itu teks Azyumardi Azra di Whatsapp saya sekitar sebulan lalu. Saat itu, Azyumardi merespon prilaku teman yang kami kenal berdua. Teks ini pula yang pertama saya ingat lagi ketika mendengar wafatnya Azyumardi Azra. Sejak Agustus 2021, hubungan saya denganya lebih intens. Saya ketua umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena. Azyumardi menjadi anggota Dewan Penasehat Satupena.
Saya mengenal Azyumardi sudah sejak tahun 1986. Itu sudah 36 tahun lalu. Kami sering berjumpa ketika sedang mengambil honor tulisan di Kompas atau di media lain. Tapi hubungan kami tak pernah benar- benar dekat. Kami hanya saling menyapa saja dan bertukar kabar. Kontak kami lebih sering dan lebih dalam sejak sama sama mengurus perkumpulan penulis Indonesia Satupena.
Dari sesama kawan di Satupena, saya dapat kabar. “Bang Denny, saya sedih. Prof Azyumardi kena covid serius. Ia ke Malaysia dan dirawat di sana. Ia sekarang ditidurkan.”
Lalu di WAG Dewan Penasehat Satupena, saya juga mendapat kabar serupa. Saya merespon membesarkan hati. “Jika Azyumardi sudah di booster (vaksin 3 kali), paling butuh waktu 5-10 hari untuk sembuh kembali.”
Ilham Bintang juga memposting tulisan soal kondisi Azyumardi Azra. Tapi ini kisahnya lebih detail dan lebih mencemaskan. Tulis Ilham Bintang, mengutip saksi mata:
Di pesawat ke Malaysia, Azyumardi sesak nafas. Ia keluar keringat. Badannya mengigil. Sejak di pesawat, ia sudah diberikan bantuan pernafasan. Turun dari pesawat di Malysia, ia langsung dibawa ke rumah sakit.
“Wah,” ujar saya dalam hati. “Ini lebih serius dibanding yang saya duga.”
Sayapun japri ke Ilham Bintang: “Bro, apakah Azyumardi punya komorbid yang dapat membuat Covidnya beresiko?”
Jawab Ilham Bintang: “Nggak begitu jelas, tapi serangan Covid19 yang dia alami cukup keras. Sampai ditidurkan dan memakai ventilator. Lazim dialami orang yang punya komorbid.”
Hari ini, sejak pagi saya ada acara untuk dua anak saya yang segera pergi sekolah ke London. Entah mengapa, bayangan Azyumardi selalu melintas.
Ketika ada waktu saya membuka WA, berita itu pun datang. Azyumardi Azra telah pergi.
-000-
Banyak hal yang saya ingat tentang Azyumardi Azra. Tapi dua isu ini lebih berkesan. Itu karena Azyumardi langsung yang merespon.
Pertama, ketika Azyumardi membaca berita. Saat itu saya membuka usaha. Saya beli banyak tempat kos- kosan, dan saya ubah menjadi hotel budget.
Saya membaca data dunia. Juga data di Indonesia. Rata- rata prosentase kenaikan harga properti melampaui prosentase kenaikan gaji.
Ini membuat makin banyak publik Indonesia tak bisa memiliki rumah. Dengan sendirinya kebutuhan akan kos- kosan semakin kuat.
Membaca data itu menambah motivasi saya membeli banyak tempat kos- kosan di pusat kota.
Tapi, agar kos- kosannya lebih efisien, ia bisa diubah menjadi hotel budget. Mereka dapat menyewa kamar harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan.
Total sewa 30 harian hotel akan lebih besar dibanding sebulan kos- kosan untuk kondisi kamar yang sama.
Usaha saya ini menjadi berita karena saya bekerja sama dengan pemilik aplikasi Zen Room. Usaha ini diframing sebagai bisnis baru di era digital karena mengelola hotel melalui aplikasi seperti Gojek dan Gofood.
Azyumardi menelfon saya. Ia menceritakan dirinya juga punya banyak kos- kosan.
Saya tanya apakah ia juga berminat mengubahnya menjadi hotel budget? Ia katakan tak punya waktu dan skill mengurusnya. Kos- kosan sekarang sudah cukup baginya.
Kamipun berdiskusi zaman yang berubah. Dulu intelektual cukup menjadi penulis, peneliti atau dosen saja. Tapi sekarang harus juga menjadi intelektual entrepeneur. Harus pula punya usaha di luar dunia penulisan, penelitian dan pengajaran.
-000-
Hal kedua yang saya ingat soal syariah Islam. Saya membuat tulisan di tahun 2019; Syariah Islam atau Ruang Publik Yang Manusiawi?
Saat itu saya merespon gerakan NKRI bersyariat. Saya mengeksplorasi yang mana yang lebih penting Menerapkan syariat Islam dengan menggunakan tangan negara? Atau menciptakan ruang publik yang manusiawi saja?
Bahkan dengan ukuran Islamicity Index, indeks nilai islami, negara yang pencapaiannya paling sesuai dengan nilai islami justru bukan negara Islam. Tapi itu justru terjadi di negara Eropa seperti Negara Skandinavia.
Itu negara yang bahkan tak menganggap agama itu penting. Tapi mereka menjalankan saja apa yg dianggap manusiawi seperti kebijakan yang membawa kepada kesejahteraan, kebebasan, genereousity, pemerintahan yang bersih.
Azyumardi membuat tulisan khusus membahas ini. Ia mengutip pandangan guru besar Emory University, Atlanta, Abdullahi Ahmed an-Naim.
Naim menulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007).
Menurut Naim; Syariah itu dapat dijalankan oleh penganut Islam. Tetapi bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara.
Syariat Islam hanya baik jika dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya.
Di negara Indonesia, dalam kerangka keberagaman, toh syariah Islam, sebagaimana juga prinsip agama lain, sudah bebas dijalankan oleh masing- masing.
NKRI bersyariah itu bertentangan dengan prinsip di atas karena ingin menegakkan syariat Islam dengan menggunakan tangan negara.
-000-
Bercakap dengan Azyurmardi Azra itu seperti tour ke dunia perpustakaan. Ia menguasai dan menjalankan bidang pengetahuan yang luas, dari dunia penulis, peneliti, dosen, penasehat politik, agama hingga entrepreneurship.
Saya pribadi kehilangan teman yang sportif dan cendikia.
Perkumpulan Penulis Satupena Indonesia kehilangan anggota Dewan Penasehat, satu senior yang kuat keilmuan dan integritas pribadinya.
Selamat jalan Azyumardi Azra. Selamat jalan senior.
*Tahun 2014, Denny JA dianugerahi oleh Twitter inc sebagai The World No 2 Golden Tweet 2014, dan No 1 di Indonesia. Denny JA juga dikenal menulis puisi esai melalui bukunya Atas Nama Cinta yang kini sudah terbit lebih dari 100 buku puisi di Indonesia dan Asia Tenggara berdasarkan genre baru puisi esai.
Untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 16 Agustus 2018, ia dan lembaganya Lingkaran Survei Indonesia mengadakan pendidikan politik terbesar dan mendapatkan Guinness World Records.
Post a Comment