Kutunggu Engkau di Tugu Rato #1
FAJAR MESAZ
Cahaya matahari senja bersembunyi di balik langit Panaragan. Waktu berlalu begitu cepat dan tak ada yang ditinggalkan kecuali segaris kenangan pahit. Di atas kepala, ujung dedaunan bergerak melambai. Mengangguk-angguk lalu diam, kemudian mengangguk lagi dan diam kembali. Seekor burung murai berwarna cokelat tua mengepak di ketinggian 15 meter dari tanah lalu berputar-putar pada beberapa bagian puncak ranting sebelum memekik serupa lelaki menangis, lalu menghilang.
Hari ini Lena kembali mengunjugi makan itu, termenung di bagian ujung nisan tanpa alas duduk dengan telapak tangan menggosok-gosok gundukan tanah. Kepalanya lunglai. Tatapan matanya kosong dan terus membuka ruang bagi mengalirnya linangan hangat dan dia tak tahu lagi sudah berapa lama menyendiri di tempat itu..
Pada dirinya sendiri setelah sebuah pagi yang senyap merenggut siang dari cahaya, perempuan itu kembali berbisik dan mengulanginya seakan tak ada yang lebih penting untuk dilakukan kecuali meratap dan merenung. Ingatan tentang peristiwa penting ketika Zaman bercerita mengenai peradaban Tubaba sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggal Panaragan dua hari lalu, benar-benar membekas begitu nyata seolah tak akan pernah hilang bahkan andai Tuhan mempertemukan mereka kembali pada waktu yang berbeda.
“Tak ada yang salah dengan keputusanmu,” kata Zaman, mengawali pembicaraan yang tak terlalu disukai dengan wajah sedikit mendung, kemarin. “Tahukah engkau betapa indahnya cara Tuhan melukiskan semua ini?”
“Aku tak ingin membicarakannya,” jawab Lena.
“Apakah kau sedang menyampaikan apa yang kurasa?”
“Aku tak tahu.”
“Aku hanya ingin menanyakannya.”
“Tidak,” Lena menggeleng. “Semua yang kau perkirakan atau yang diperkirakan banyak orang tidak semuanya benar dan sisi kehidupanku adalah perjalanan hidup seperti biasa. Sebenarnya aku tak ingin menyampaikannya walau akhirnya aku menjadi begini; menceritakannya padamu meski ini bukan pilihan. Tapi sudahlah. Lebih baik kita membicarakan kesehatanmu. Kurasa itu jauh lebih baik.”
Kedua mata Zaman memandang sangat tegas, disertai sedikit perasaan gelisah. Tubuhnya masih terbaring dengan kerutan pucat di antara cahaya matahari dari jendela yang terbuka, lalu cahaya itu membiaskan kesegaran. Dia ingin berkata banyak hal namun tak mengerti harus memulai dari mana. Dia seperti kehilangan semua hal-hal penting untuk dibicarakan kecuali satu kalimat pendek: “Aku baik-baik saja.”
“Kau sakit, Man,” kata Lena.
BERSAMBUNG
Post a Comment